Home » Persuasif » Sisi-sisi gelap dunia siber

Sisi-sisi gelap dunia siber

Oleh SHAHAROM TM SULAIMAN
Cyberspace atau ‘dunia siber’adalah sebuah ruang maya yang dibentuk melalui jaringan antara komputer yang ketika ‘mengembara’ di dalamnya kita akan menemukan berbagai panorama, dengan berbagai paradoks dan kontradiksi: Kesenangan/ketakutan, kebaikan/keburukan, keaslian/kepalsuan, kecintaan/kebencian. Paradoks cyberspace dalam hal ini, memang sama saja dengan paradoks di dalam ‘dunia nyata’, akan tetapi ia bersifat lebih ekstrem, lebih kuat, lebih langsung dan lebih radikal. Tentu sekali cyberspace dianggap lebih menyenangkan dibandingkan dengan ‘dunia nyata’ itu. Bahkan, segala sesuatu yang di masa lalu dianggap sebagai fantasi, halusinasi atau ilusi, kini dapat “dialami” sebagai sebuah “realiti” yang nyata. Hal ini kerana dunia fantasi, halusinasi, dan ilusi itu dengan bantuan teknologi simulasi terkini telah tumpang tindih dengan dunia realiti sehingga di antara keduanya tidak dapat dibezakan lagi. Semuanya kini menjadi “peristiwa” sehari-hari yang benar-benar nampak nyata – inilah dunia cyberspace, yang realitinya adalah “realiti maya” (virtual reality).
Istilah “cyberspace” diperkenalkan pertama kali oleh novelis sains fiksyen, William Gibson di dalam bukunya yang tersohor Nueromancer (1984). Gibson mendefinisikan cyberspace sebagai sebuah “…halusinasi yang dialami oleh jutaan orang setiap hari…(berupa) representasi grafik yang sangat kompleks dari data di dalam sistem fikiran manusia yang diabstraksikan dari bank data setiap komputer.” Cyberspace menawarkan manusia untuk “hidup” di dalam dunia alternatif, yakni sebuah dunia maya sebagai ‘gantian’ pada realiti; sebuah dunia yang dapat mengambil alih dan menggantikan realiti yang ada, yang dapat menjadi lebih nyata daripada realiti yang ada, yang lebih menyenangkan daripada kesenangan yang ada, yang lebih fantasi daripada fantasi yang ada, yang lebih mengghairahkan daripada keghairahan yang ada.
Inilah sebuah dunia “yang melampaui realiti” yang ada; sebuah “hiperrealiti” (hyperreality), sebuah realiti maya (virtual reality). Dunia realiti yang “melampaui” dan bersifat artifisial ini menjajah hampir setiap realiti yang ada, yang pada suatu ketika nanti akan mengambil alih secara “total” realiti-realiti tersebut. Kenyataan tersebut akan menimbulkan pertanyaan, apabila dunia artifisial dapat menghasilkan kesenangan, keghairahan, kepuasan yang lebih kaya, yang lebih beragam, yang lebih tinggi, lalu, apakah kita masih memerlukan realiti itu sendiri? Apabila kita tidak perlu lagi realiti, apakah ia harus kita tinggalkan, kita hancurkan, kita serang, kita “bunuh”, untuk kemudiannya digantikan sepenuhnya oleh realiti-realiti artifisial?
Setidak-tidaknya ada tiga pandangan yang berbeza dalam melihat dunia cyberspace tersebut. Pertama, orang-orang yang melihat dunia cyberspace dengan pandangan optimistik-positif atau affirmative seperti Timothy Leary dalam tulisannya Chaos and Cyber Culture (1994) dan Howard Rheingold dalam bukunya Virtual Reality (1991). Kedua, orang-orang yang melihat dunia cyberspace dengan pandangan pesimistik, curiga, menolak atau refusal seperti Mark Slouka dalam bukunya War of the Worlds: Cyberspace and the High-Tech Assault on Reality (1995) dan Douglas Rushkoff dalam bukunya Cyberia: Life in the Trenches of Hyperspace (1994). Ketiga, pandangan yang penuh ketidakpastian, yang mengkritik dunia cyberspace, tetapi menerimanya sebagai sebuah kenyataan yang tidak dapat ditolak atau fatalistic seperti Jean Baudrillard dalam pelbagai tulisannya seperti Simulations (1983), Simulacra and Simulation (1994).
Ketiga-tiga pandangan tersebut didasari oleh tiga sikap yang berbeza dalam melihat dunia cyberspace dengan segala perubahannya yang radikal. Namun begitu, cyberspace sesungguhnya telah membawa kita ke dalam berbagai sisi realiti baru kehidupan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya, yang penuh dengan harapan kesenangan, kemudahan, dan penggembaraan, seperti tele-shopping, tele-conference, teledildonic, virtual café, virtual architecture, virtual museum, cybersex, cyberparty, dan cyberorgasm.
Akan tetapi, di sisi lain, proses “siberisasi” (cyberization) dunia tersebut telah menyebabkan orang kehilangan realiti masa lalu beserta kearifan yang disimpan disebaliknya, yang justeru lebih berharga bagi pembangunan diri kita sebagai manusia, seperti rasa kedalaman, rasa kebersamaan, ikatan moral yang tinggi, semangat bermasyarakat dan semangat solidaritas. Dengan kata lain, budaya cyberspace secara halus dan ‘psikologis’ telah menghilangkan rasa kemanusiaan yang tinggi.
Harus disedari juga bahawa kemunculan berbagai program di dalam cyberspace, tidak dapat dilepaskan dari “ideologi” yang ada di sebalik penciptaannya. Meskipun sebahagian besar ‘pemogram’ komputer adalah orang yang pasif secara ideologis dan politis, akan tetapi mereka dibentuk di dalam sebuah lingkungan dan generasi yang menganut ideologi tertentu. Dalam upaya memahami ‘ideologi’ di sebalik cyberspace, maka sangat penting mengaitkan realiti dunia maya ini dengan pemikiran-pemikiran para pemuka dan ‘ideolog’, yang menjadi model acuan ideologis dalam penciptaan program komputer iaitu para Cyberpunk, yang merupakan generasi muda yang memang hidup dalam perkembangan tercanggih dunia teknologi komunikasi dan informasi.
Menurut Mike Featherstone dan Roger Burrows dalam buku yang disunting bertajuk Cyberspace,Cyberbodies, Cyberpunk: Cultures of Technological Embodiment (1995), generasi cyberpunk yang mana ‘ideologi’ mereka sangat dipengaruhi oleh berbagai gerakan ‘pengingkaran’ pada dekad 1960-an, yang menaruh perhatian besar pada teknologi komunikasi dan informasi, disamping itu mereka adalah para punk dengan segala sifatnya yang “khas”: anak-anak muda yang cenderung liar, semangat pemberontakan yang kuat, sikap politik yang ganjil, pakaian dan gaya rambut yang aneh. Singkatnya, mereka adalah “si pembuat masalah”. Lihatlah berbagai “virus” yang terjadi adalah hasil ciptaan fantasi generasi cyberpunk ini seperti ‘virus’ “I LOVE YOU”.
Cyberpunk ini mempunyai pengikut global yang tersebar luas di dalam berbagai jaringan media. Mereka, melalui berbagai tulisan sains fiksyen, mengembangkan sikap-sikap ideologis yang pekat dengan warna ‘pengingkaran’, di antaranya adalah: kebebasan informasi, ketidakpercayaan terhadap autoriti, pengingkaran terhadap segala bentuk kekuasaan, menganjurkan kehidupan do-it-yourself, kebebasan penjelajahan atau ‘pelayaran’ melampaui batas-batas yang terlarang lewat cyberspace. Para cyberpunk sepertimana golongan ekstremis yang lain merupakan ‘produk’ dari sebuah zaman, yang sangat mengagungkan ‘subjektiviti’. Dan, salah satu ‘semangat zaman’ yang sangat mempersonakan mereka adalah semangat ‘dekonstruksi’, yang merupakan inti pada pemikiran Pascamoden iaitu satu semangat meruntuhkan segala yang ada tanpa ada rekonstruksi yang bermakna.
Semangat ini semakin ekstrem apabila cyberpunk menjumpai ‘kegilaannya’ melalui wahana teknologi komputer yang canggih. Memang cyberpunk sangat terpesona oleh konsep ‘ketidakpastian’ dan ‘ketidakstabilan’. Mereka ghairah dalam ‘membongkar’ setiap kemapanan, setiap autoriti, setiap kekuasaan, setiap konvensi. Mereka lalu melahirkan berbagai bentuk ‘nihilisme’ (kekosongan): mereka bebas membongkar tanda dan makna, tetapi tidak mampu menyusunnya kembali dan begitu bersemangat melucuti kebenaran dan makna, tetapi kurang berminat membangunnya. Generasi cyberpunk dengan segala ‘keanehannya’ yang akan mewarisi dunia cyberspace.
“Segala yang terbaik dalam hidup ini memang menakutkan”, kata Bill Lessard dan Steve Baldwin dalam buku Net Slaves (2000). Dan, memang dunia cyberspace, di samping berisikan muatan-muatan kesenangan, kegembiraan, keghairahan, keterpesonaan, keintelektualan, kecerdasan; ianya juga sebuah ‘pengembaraan’ yang disarati oleh berbagai muatan ketakutan, kekerasan, kehancuran, kebencian, penipuan canggih. Kedua-duanya hadir “begitu saja” di dalam cyberspace. Lessard dan Baldwin lewat buku mereka telah berwawancara dengan pelbagai golongan profesional yang terlibat dalam dunia teknologi informasi dan komunikasi dan mendapati bahawa sebahagian besar merasa kecewa dan hampa setelah melalui ‘dunia’ yang diyakini mereka akan membawa arus perubahan besar kehidupan global. Mereka berpendapat bahawa betapa ‘keniscayaan teknologi’ tersebut telah mengurung mereka (golongan yang diwawancara) dalam berbagai lembah ketakutan, penipuan, manipulasi dan ‘kekosongan diri’ sehingga merasakan dunia cyberspace merupakan dunia yang hampa etika atau ethical zero.
Memang, ketika cyberspace dikosongkan dari berbagai filosofi, kepercayaan dan etika yang telah menjadi konsensus sosial umat manusia, ia kemudiannya menjadi semacam ‘tempat hasrat’ manusia menyalurkan segala kehendaknya tanpa batas; membebaskan kehendak ‘libido seksual’ lewat cyberporn, membebaskan kehendak hasrat berkuasa lewat cybercrime, membebaskan kehendak hasrat kaya dengan cepat lewat cybermoney, membebaskan kehendak hasrat yang tidak mahu tunduk kepada undang-undang lewat cyber anarchy. Semua sisi buruk manusia segera menemukan saluran ‘pelepasannya’, sehingga ia ‘bebas’ berkeliaran di dalam cyberspace tanpa ada hambatan dan halangan. Inilah nasib dan penyesalan yang ingin digambarkan oleh Lessard dan Baldwin lewat buku Net Slaves.
Dunia cyberspace nampaknya telah membawa umat manusia ke dalam suatu paradoks. Di satu pihak, ia telah membuka cakerawala dunia yang sangat menjanjikan: yang kaya warna, kaya citra, kaya nuansa; di sisi yang lain, ia menjelma menjadi sebuah dunia yang seakan-akan tanpa ‘kendalian’, yang bergerak menurut logika hasratnya sendiri, sehingga manusia kehilangan arah tujuannya – manusia mengembara menuju titik-titik yang “melampaui”, titik-titik ekstrem.
Sejarah telah mengajarkan kepada kita, apa pun yang tumbuh ke arah ekstrem pada hakikatnya menuju titik kehancurannya (self-destruction). Ancaman lubang ozon, misalnya adalah contoh pertumbuhan (ekonomi, industri dan teknologi) yang melampaui titik yang tidak seharusnya ia lalui sehingga pertumbuhan itu bukannya memberikan kesejahteraan pada umat manusia, justeru menjadi ancaman terhadap umat manusia itu sendiri. Inilah yang dikatakan oleh Donella Meadows dalam bukunya yang tersohor Beyond the Limits: Global Collapse or a Sustainable Future (1995), sebagai overshoot – melampaui batas. Satu-satunya jalan untuk mencegah kehancuran umat manusia adalah dengan mengendalikan pertumbuhan itu dengan penuh kearifan termasuklah ‘pengendalian’ cyberspace.
Kita tidak menolak dunia cyberspace dan realiti maya sebagai kemajuan teknologi dan sosial. Kita hanya menolak sifat ekstrem, kesombongan, tanpa batas yang “percaya” bahawa apa pun persoalan manusia dapat dipecahkan lewat teknologi ‘maya’ ini, bahawa apa pun keperluan manusia dapat dipenuhi lewat keghairahan ‘kemayaan’ ini, bahawa apa pun hubungan sosial manusia dapat digantikan oleh masyarakat maya (virtual community). Oleh sebab itu, sebagaimana yang dianjurkan oleh Meadows, yang amat diperlukan adalah pengendalian dunia cyberspace itu agar tidak menjadi ‘melampaui batas’ yang seharusnya tidak ia lalui atau lewati batas-batas kebenaran, batas-batas sosial, batas-batas seksual dan batas-batas moral. Bukankah ajaran Islam sendiri mengajar umat manusia supaya sentiasa ‘bersederhana’ dalam semua dimensi kehidupan?

Shaharom TM Sulaiman ialah pensyarah di Fakulti Pengajian Maklumat, Universiti Teknologi MARA (UiTM)

Sumber : Majalah Dakwah terbitan Yayasan Dakwah Islamiah Malaysia

Artikel Berkaitan

ARKIB
KATEGORI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *